Sabtu, 10 September 2016

Resensi "Children of Men" - Ketika Manusia Tak Lagi Berketurunan




Sutradara: Alfonso Cuaron
Produser: Marc Abraham, Eric Newman, Hilary Shor, Iain Smith, Tony Smith
Penulis Skenario: Alfonso Cuaron, Timothy J. Sexton, David Arata, Mark Fergus, dan Hawk Ostby
Ide Cerita: P. D. James (novel)
Komposer Musik: John Tavener
Sinematografi: Emmanuel Lubezki
Penyunting Film: Alfonso Cuaron, Alex Rodriguez
Studio Produksi: Strike Entertainment, Hit and Run Productions
Distributor: Universal Pictures
Pemain: Clive Owen, Julianne Moore, Chiwetel Ejiofor, Michael Caine, dkk.

Genre: Fiksi ilmiah, drama, thriller
Durasi: 109 menit
Tanggal Rilis: 25 Desember 2006 (Amerika Serikat)

Apa jadinya ketika semua orang di Bumi tak bisa berketurunan lagi? Apa jadinya jika umat manusia sudah tak bisa lagi memiliki generasi penerus, dan hidup hanya untuk menunggu mati? Hal inilah yang  digambarkan sutradara Alfonso Cuaron dalam filmnya, "Children of Men." Jika cerita-cerita distopia pada umumnya menggunakan latar pasca kiamat (post-apocalyptic), dalam "Children of Men" penonton justru disuguhkan detik-detik menjelang kiamat (pre-apocalyptic).

Berlatar tahun 2027, 18 tahun sesudah kemandulan global yang mengakibatkan tidak ada satu pun bayi yang lahir dalam 18 tahun terakhir. Penyebab kemandulan global ini tidak diketahui. Cerita film ini dibuka dengan tewasnya pria termuda di dunia (berusia 18 tahun) dikarenakan amukan massa. Sejak kemandulan global terjadi, depresi jiwa berskala besar melanda dunia. Terjadi kekacauan di mana-mana, kerusuhan, dan pemberontakan. Pemerintahan negara-negara di dunia hancur satu per satu. Satu di antara sedikit negara yang masih berdiri adalah Inggris, yang kini telah menjadi otoriter dan isolatif terhadap imigran.
Tersebutlah Theo Faron (Clive Owen), mantan aktivis yang kini menjadi seorang pegawai negeri biasa. Setelah berbincang santai dengan kawannya, Jasper (Michael Caine), tiba-tiba Theo diculik oleh kelompok pemberontakan yang dipimpin oleh Julian (Julianne Moore). Ternyata kelompok tersebut berhasil menemukan seorang wanita, yang ajaibnya, hamil. Theo pun mendapat tugas untuk mengawal dan mengantarkan wanita tersebut ke Human Project, sebuah organisasi ilmuwan dunia yang berusaha menemukan jawaban untuk mengatasi kemandulan global. Berhasilkah Theo menjalankan misinya menjaga obor terakhir penerus kehidupan umat manusia?

Setiap adegan "Children of Men" sangat kuat. Ia mampu bercerita tanpa harus banyak bicara. Setiap elemen naratif yang dibiarkan samar, seperti kemandulan global yang tidak pernah diketahui secara pasti apa sebabnya, adalah satu hal yang memancing penonton untuk berpikir dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sang sutradara Alfonso Cuaron--yang juga pernah mengerjakan versi film dari novel "Harry Potter and the Prisoner of Azkaban"--merancangnya sedemikian rupa agar 'film tidak menjadi korban dari naratif.'

Akting prima dari para pemain juga memperkuat isi film ini. Clive Owen sebagai Theo, orang biasa yang tiba-tiba mendapat tugas besar. Julianne Moore sebagai Julian, seorang pemimpin kelompok pemberontakan yang sangat tegas. Aktor senior Michael Caine sebagai Jasper yang berwatak santai dan berkehidupan bebas. Tokoh-tokoh pendukung lainnya juga memiliki pemain yang tak jelek. 


Saya melihat "Children of Men" sebagai proyeksi dan refleksi kemungkinan negatif yang dapat saja terjadi pada masyarakat pos-modern yang mementingkan kebebasan individu di atas segalanya (yang tercermin dalam kampanye LGBT, keluarga yang tidak ingin memiliki anak, menurunnya angka natalitas di negara-negara maju, dll.). Dalam dunia distopis "Children of Men", konsep-konsep seperti keadilan, kesetaraan gender, beserta isu-isu dan hal-hal yang 'diperjuangkan' banyak golongan di era informasi dan kebebasan bersuara masa kini, sudah tidak berarti lagi. Masyarakat yang tidak memiliki generasi penerus tidak akan punya masa depan. 

Kehadiran tokoh Kee, sang wanita hamil, seolah menyiratkan harapan terhadap umat manusia yang nyaris punah. Sekaligus menjadi pengingat bagi kita bahwa dalam situasi paling buruk sekalipun, harapan akan tetap ada.

Skor: 8,7/10



Selasa, 23 Agustus 2016

Resensi "Kingsglaive: Final Fantasy XV" - Sebuah Fantasi Modern

Sumber gambar: IMDb

Sutradara              : Takeshi Nozue
Produser               : Hajime Tabata
Penulis Skenario   : Takashi Hasegawa
Komposer Musik   : John R. Graham, Yoko Shimomura
Studio Produksi     : Square Enix
Distributor             : Square Enix, Sony Pictures
Pemain                  : Aaron Paul, Lena Headey, Sean Bean, dkk.

Genre                     : Fantasi, aksi, animasi
Durasi                    : 110 menit
Tanggal Rilis         : 19 Agustus 2016 (Amerika Serikat)

Dalam sebuah kesempatan yang cukup jarang, akhirnya saya bisa menyaksikan "Kingsglaive: Final Fantasy XV". Ini adalah film layar lebar ketiga yang diadaptasi dari serial video game Final Fantasy (Squaresoft/Square Enix, 1987-sekarang) setelah "Final Fantasy: The Spirits Within" (2001) dan "Final Fantasy VII: Advent Children" (2005). "Kingsglaive: Final Fantasy XV" merupakan kisah prekuel dari video game Final Fantasy XV yang akan dirilis November tahun ini di konsol PlayStation 4.

Alkisah, tersebutlah sebuah Kristal yang merupakan inti energi magis di dunia. Selama berabad-abad, Kerajaan Lucis yang pendamai melindungi Sang Kristal. Namun di sisi lain, Kekaisaran Niflheim dengan kemajuan teknologi militer dan Magitek (mesin sihir) yang dimilikinya, berusaha merenggut Kristal tersebut. Akibatnya, terjadi pertempuran tak berkesudahan antara dua kerajaan besar itu, dan kerajaan-kerajaan kecil jatuh pada tangan besi Niflheim. Sebagai langkah terakhir, Raja Lucis meminjam kekuatan Kristal untuk mendirikan Tembok Magis Raksasa untuk melindungi seluruh Kerajaan Lucis dari gempuran Niflheim. Pertempuran panjang antar kedua kerajaan itu pun usai.


Sumber gambar: Final Fantasy Union
Berabad-abad kemudian, di masa kini, Kerajaan Lucis dipimpin oleh Raja Regis Lucis Caelum CXIII (Sean Bean). Masyarakat Lucis--terutama yang tinggal di Insomnia, ibukota Lucis--hidup dengan damai, namun Kekaisaran Niflheim yang militeristik memulai kembali invasinya terhadap para sekutu dan wilayah Lucis sendiri. Pasukan militer Lucis, termasuk pasukan khusus yang disebut 'Kingsglaive', mulai kewalahan membendung serbuan Niflheim. Wilayah Lucis pun takluk satu per satu. Kemudian Niflheim menawarkan perjanjian damai pada Lucis dengan dua syarat: seluruh wilayah Lucis kecuali Insomnia harus diserahkan pada Niflheim, dan pangeran Noctis Lucis Caelum harus dinikahkan dengan puteri Lunafreya Nox Fleuret (Lena Headey) dari kerajaan Tenebrae--mantan sekutu Lucis yang kini ditaklukkan Niflheim. Melihat situasi kerajaannya yang semakin terdesak, dengan sangat terpaksa Raja Regis menerima perjanjian damai tersebut. Keputusan ini mengakibatkan kekecewaan banyak orang, termasuk perpecahan antara anggota Kingsglaive sendiri. Namun, Nyx Ulric (Aaron Paul), seorang anggota senior Kingsglaive, mencium hal yang tidak beres di balik perjanjian damai tersebut. Ia pun melakukan tindakan untuk mengetahuinya. Apakah Nyx Ulric dan kawan-kawannya mampu menguak konspirasi tersebut dan melindungi Kerajaan Lucis?

Satu hal yang akan langsung tampak menonjol di film ini adalah kualitas visualnya. Animasi CGI yang tampak sangat hidup, sehingga kenampakan tokoh-tokoh "Kingsglaive" serasa sangat manusiawi--mulai dari gerak-gerik sampai ekspresi wajah dalam detail terkecilnya. Visualisasi adegan laga dalam film ini juga luar biasa layaknya film blockbuster, meskipun penonton mungkin agak kesulitan mengikutinya karena aksi pertarungan yang sangat cepat.

Sumber gambar: Siliconera
Plot padat yang sarat akan intrik politik kerajaan a la "Game of Thrones" disajikan dengan baik dalam durasi 110 menit. Tentu saja penonton harus fokus penuh jika ingin memahami plot dan latarnya. Namun bagi penonton yang kurang tertarik dengan plotnya masih dapat terpuaskan dengan apiknya visualisasi serta adegan aksi yang ditampilkan.

Akting para pengisi suara yang prima turut memberikan kekuatan pada "Kingsglaive". Aaron Paul sebagai Nyx Ulric yang cepat tanggap dan bersifat ksatria, Lena Headey sebagai Puteri Lunafreya yang tabah dan setia pada tugasnya, dan Sean Bean sebagai Raja Regis yang berkepala dingin dan kharismatik. Pengisi suara tokoh-tokoh lainnya juga menunjukkan akting yang bagus, sehingga penonton dapat lebih terhubung ke setiap tokoh ceritanya.

Sumber gambar: Game Informer

 Latar cerita "Kingsglaive: Final Fantasy XV" juga patut mendapat sorotan tersendiri. Alih-alih menggunakan latar bernuansa Abad Pertengahan seperti kisah fantasi pada umumnya seperti trilogi "Lord of the Rings" (Peter Jackson, 2001-2003), "Kingsglaive" menggunakan latar dunia modern--dengan penggambaran Insomnia sebagai kota metropolis lengkap dengan jalan tol, kendaraan bermotor, dan gedung-gedung bertingkat--ditambah unsur fantasi seperti ilmu sihir dan monster. Dengan apiknya "Kingsglaive: Final Fantasy XV" berhasil menyatukan unsur fantasi dan unsur modernitas, menjadikannya salah satu karya ber-subgenre urban fantasy yang berkualitas.

Sumber gambar: Japanator

Tidak seperti "Final Fantasy: The Spirits Within" yang merupakan film yang baik tapi kurang terasa seperti Final Fantasy, ataupun "Final Fantasy VII: Advent Children" yang plotnya hanya bisa diikuti oleh gamer yang telah menyelesaikan Final Fantasy VII (Squaresoft, 1997), "Kingsglaive: Final Fantasy XV" dapat diikuti oleh semua penonton baik yang merupakan penggemar seri Final Fantasy maupun penonton awam. Bagi para penggemar setia Final Fantasy, "Kingsglaive" dapat memberikan landasan kokoh untuk memahami keseluruhan kisah Final Fantasy XV selanjutnya dalam format video game. Sementara bagi penonton awam, "Kingsglaive" dapat menjadi hiburan yang padat, memicu pikiran, dan penuh aksi serta efek visual yang enak dipandang.

Saya pribadi berharap, setelah "Kingsglaive" ini akan bermunculan film-film adaptasi game dengan kualitas yang semakin baik dan membongkar stigma lama bahwa film adaptasi video game selalu buruk.

Skor: 9/10





Rabu, 17 Agustus 2016

Resensi "Tiga Dara" - Harta Karun Sinema Klasik Indonesia

Sumber Gambar: IMDb

Sutradara               : Usmar Ismail
Komposer Musik    : Sjaiful Bachri
Studio Produksi      : PT. PERFINI Films; Restorasi digital oleh PT. Render Digital Indonesia
Tanggal Rilis          : Tahun 1956; 11 Agustus 2016 (edisi restorasi)
Genre                    : Drama musikal
Pemain                  : Chitra Dewi, Mieke Wijaya, Indriati Iskak, Fifi Young, Bambang Irawan, dkk.


Sedikit membuka memori lampau, saya pernah menyaksikan film ini pada peringatan ulang tahun Kota Surabaya dua tahun silam (31 Mei 2014). Selain sebagai apresiasi sinema klasik, pemutaran "Tiga Dara" waktu itu juga sebagai apresiasi atas Indriati Iskak--salah satu pemeran utamanya--yang juga adalah seorang arek Suroboyo. Ketika muncul kabar bahwa film "Tiga Dara" direstorasi dan ditayangkan di bioskop-bioskop terpilih, seketika muncul dorongan untuk menontonnya kembali. Bersama tulisan ini, saya mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada semua pihak yang terlibat dalam restorasi "Tiga Dara" ini, yang telah mencurahkan segenap waktu dan tenaga untuk menggali kembali salah satu harta karun dalam bumi sinema Indonesia.

"Tiga Dara" mengisahkan tiga bersaudari Nunung (Chitra Dewi), Nana (Mieke Wijaya), dan Nenny (Indriati Iskak) yang tinggal bersama sang ayah dan sang nenek (Fifi Young). Ketiga saudari ini memiliki sifat khas masing-masing: Nunung putri tertua yang telaten, Nana putri kedua yang luwes bergaul,  Nenny putri bungsu yang jahil dan cerdik. Cerita diawali dari ulang tahun Nunung yang ke-29. Sang nenek merasa sangat kebingungan sebab si putri tertua tak kunjung mendapat jodoh. Sifat Nunung yang agak kaku pun semakin mempersulit masalah. Sang nenek beserta seluruh keluarga pun menyusun rencana agar Nunung segera mendapat jodoh. Namun, salah satu adik Nunung sendiri malah menjadi faktor penghambat dalam keberhasilan rencana tersebut. Bagaimana kelanjutan kisahnya? Apakah Nunung akan mendapatkan tambatan hati?

Sumber Gambar: Wikipedia
Sekilas premis film ini terlihat klise di zaman sekarang. Namun penulis cerita dan skenario--sayang sekali namanya lupa saya catat di kredit film--mampu meramunya dengan apik. Tidak seperti roman picisan, "Tiga Dara" mampu menyajikan konflik cinta segitiga dalam balutan persaingan antarsaudari dengan sangat menarik. Cinta segitiga itu pun akhirnya 'bertabrakan' juga dengan rangkaian peristiwa-peristiwa lainnya yang tak terduga, sehingga hasil akhirnya jauh dari klise.

Masing-masing pemain, khususnya ketiga pemeran yang jadi sorotan utama, berhasil membawakan perannya dengan sangat baik. Chitra Dewi sebagai Nunung yang pengayom tapi agak keras hati, Mieke Wijaya sebagai Nana yang kelewat pandai bergaul, Indriati Iskak sebagai si bungsu Nenny yang centil, cerdik, dan pandai membaca situasi--ketiganya merupakan nyawa yang menjadikan film ini sangat hidup.

Selain peran ketiga aktris utama, lagu-lagu pengisi film ini juga tak kalah penting. Lagu-lagu pilihan lintas genre dari Indonesia era 50-an--yang beberapa di antaranya adalah ciptaan Ismail Marzuki, tidak hanya sebagai pemanis adegan saja tapi juga tulang belakang dari film ini. Adegan-adegan musikalnya pun disajikan dalam berbagai gaya: ada yang bernuansa khas Melayu, ada yang bernuansa kebaratan, ada pula yang tersentuh gaya musikal India.


Sumber Gambar: The Jakarta Post

Secara keseluruhan, "Tiga Dara" adalah film apik yang membawa kita menyelami suasana klasik Indonesia dengan kekuatan musikalnya. Tapi saya cukup menyayangkan betapa sedikitnya penonton yang hadir dalam teater saat saya menonton film ini. Apa pun yang terjadi selanjutnya, saya harap itu tidak akan menyurutkan semangat insan film Indonesia untuk tetap mengapresiasi karya-karya klasiknya, yang tentu dapat menjadi referensi untuk menciptakan karya-karya yang lebih baik lagi ke depannya.

Maju terus perfilman Indonesia!

Skor: 8,8/10

Sabtu, 13 Agustus 2016

Resensi "The Beginning of Life" - Anak-anak sebagai Awal dan Penerus Kehidupan





Sutradara: Estela Renner
Penulis Skenario: Estela Renner
Studio Produksi: Maria Farinha Filmes
Tanggal Rilis: 5 Mei 2016 (Brazil)



Hari Minggu lalu (7 Agustus 2016), saya mendapat kesempatan untuk menonton sebuah film yang tidak beredar di bioskop sini. Film tersebut adalah "The Beginning of Life", yang diputar pada suatu kesempatan di Kafe Baca Ceria (Kabaca). Kabaca sendiri adalah taman baca umum yang terletak di Wisma Penjaringan Sari F-7, Kecamatan Rungkut, Surabaya. Misi dari Kabaca sendiri adalah meningkatkan minat baca dan literasi masyarakat sekitar, terutama anak-anak. Selain sebagai tempat membaca dan menyewa berbagai jenis buku, Kabaca juga rajin mengadakan kegiatan yang mendidik untuk anak-anak dan masyarakat di sekitarnya.

"The Beginning of Life" adalah sebuah film dokumenter yang memotret salah satu fase awal kehidupan manusia, yaitu fase kanak-kanak. Dalam film ini, bisa disaksikan kehidupan anak-anak yang polos dan penuh keingintahuan. Berbagai narasumber dengan pelbagai disiplin ilmu juga turut memberikan pendapat mereka tentang anak-anak, mulai dari segi psikologi, pendidikan, pola asuh (parenting), sampai ekonomi. Sinematografi yang indah dan apik mampu membuat kita melihat dunia anak-anak secara sangat dekat, bahkan sampai terlarut ke dalamnya. Kegiatan produksi yang dilakukan di 8 negara membuat "The Beginning of Life" mampu memberikan gambaran global tentang topik utama yang diangkat. Film ini banyak menampilkan sisi terang dan keindahan dari dinamika hidup anak dan keluarga, namun juga menunjukkan sisi yang kurang ideal sebagai penyeimbang, misalnya keluarga yang hidup di kawasan miskin, orangtua tunggal, keluarga homoseksual, dan bahkan anak-anak yang tidak memiliki orangtua.

Dalam film yang juga disponsori UNICEF ini, Estela Renner dkk. nampaknya ingin meningkatkan kesadaran orang-orang akan pentingnya dunia anak-anak. Tidak bisa dipungkiri, anak-anak merupakan elemen penting dalam kelangsungan umat manusia. Dengan menjaga dunia anak-anak, maka secara tidak langsung kita juga akan mencetak orang-orang dewasa yang baik di masyarakat, sehingga pendidikan dan pengasuhan anak-anak adalah sesuatu yang sangat tidak bisa diabaikan. Dan dalam hal ini bukan hanya keluarga yang berperan, namun juga masyarakat. Dengan menjaga anak-anak, maka kita menjaga masa depan.

"The Beginning of Life" mengajarkan kita banyak hal. Beberapa di antaranya adalah pola pikir anak-anak, cara belajar anak-anak, gambaran cara parenting yang baik, dsb. Namun poin-poin ini tidak dipaksakan begitu saja ke dalam benak penonton. Sebaliknya, penonton diajak untuk mengambil pelajaran sendiri dari serangkaian fenomena yang didokumentasikan dalam film ini.

Suasana pemutaran "The Beginning of Life" di Kabaca

Sayangnya, film ini terlalu general. Ia mencakup hal yang sangat luas, sehingga melewatkan beberapa hal yang sebenarnya masih termasuk dalam topik utama dan tidak kalah penting, misalnya tentang anak-anak berkebutuhan khusus. Namun kekurangan tersebut tidak akan sampai membuat penonton merasa terganggu dan keberatan melihat kelucuan polah anak-anak, dan memetik pelajaran, dari "The Beginning of Life."

Skor: 7,7/10

Sabtu, 30 Juli 2016

[Reportase Indie] Provoke! Flick: Focus On Wregas (Surabaya, 29 Juli 2015)


Jumat sore tanggal 29 Juli 2017 di auditorium IFI Surabaya, saya berkesempatan menghadiri pemutaran bertajuk 'Focus on Wregas' yang diadakan oleh redaksi majalah Provoke! Surabaya bekerjasama dengan Institut Francais Surabaya (IFI). Provoke! sendiri adalah majalah anak muda yang memprovokasi dan menyebarkan semangat berkarya secara indie. Pemutaran ini merupakan bagian dari program "Provoke! Flick" yang bertujuan mengenalkan film-film karya anak bangsa yang mencapai prestasi, namun belum banyak diketahui khalayak umum.

Sesuai judulnya, acara ini memutarkan 5 film pendek karya Wregas Bhanuteja. Sutradara muda lulusan Jurusan Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta ini bersama kawan-kawannya dalam Studio Batu telah berhasil mencipta film-film pendek yang diakui baik secara nasional maupun internasional.

Film pertama yang diputar adalah "Senyawa." Film ini merupakan karya pertama Wregas Bhanuteja. Film ini cukup unik dibanding film lain dalam pemutaran ini karena dikerjakan menggunakan film seluloid 16 mm. "Senyawa" mengisahkan sebuah keluarga plural yang terdiri atas ayah beragama Islam, ibu beragama Kristen, dan seorang anak perempuan yang beragama Kristen mengikuti ibunya. Sepeninggal sang ibu, sang anak punya satu keinginan sederhana: menyanyikan dan merekam lagu Ave Maria untuk mendiang sang ibu. Namun keinginan itu harus terganggu suasana kampungnya yang sangat ramai. Di balik kisah sederhana yang penuh kepolosan--baik kepolosan niat sang anak maupun kepolosan warga kampung--kita juga disadarkan bahwa sebagai bangsa yang bhinneka, kita wajib menjaga harmoni kehidupan antar umat.


Film kedua adalah "Lembusura" (The Legend of the Mountain Demon). Lain dengan kisah asli legenda Lembusura sang raksasa penjaga gunung, ini adalah sebuah film eksperimental tentang sekawanan pemuda yang melakukan syuting film dengan tokoh utama Lembusura di tengah-tengah hujan abu Gunung Kelud. Dalam film ini kita menyaksikan suka duka plus kekonyolan suasana syuting film, sekaligus menyaksikan sendiri situasi hujan abu di pemukiman sekitar Gunung Kelud. Cukup kuatnya kontras yang ditampilkan dalam film ini, dapat membuat kita jadi tertawa terbahak-bahak sekaligus berempati pada musibah yang dialami sesama. Film "Lembusura" pernah berlaga dalam Festival Film Berlin 2015.


Film ketiga adalah "The Floating Chopin," yang pernah tampil dalam Festival Film Hong Kong 2016. Mengisahkan sepasang kekasih yang berlibur di sebuah pantai perawan. Sang pria baru saja kembali dari Paris. Ia pun menceritakan pengalaman-pengalamannya pada kekasihnya, salah satunya tentang makam komposer Frederic Chopin. Sebagai refleksi perjalanannya, sang pria minta difoto sebagai Chopin. The Floating Chopin adalah sebuah drama artistik yang pesannya hanya bisa ditafsirkan oleh penonton sendiri. Sebagai lagu tema, "Chopin Larung" karya Guruh Soekarno Putra diangkat dalam film ini.

Film keempat adalah "Lemantun" (The Third Cupboard). Diangkat dari pengalaman hidup keluarga Wregas sendiri, film ini bercerita tentang seorang ibu yang mengumpulkan kelima anaknya, yang masing-masing kemudian diberikan warisan berupa almari. Dalam film ini kita bisa menyaksikan interaksi khas keluarga Jawa dan sebuah potret hubungan kekeluargaan. Melalui akting yang apik, karakterisasi semua tokoh terutama kelima anak tersebut terasa nampak kekhasannya, seperti kita melihat kekhasan sifat masing-masing tokoh dalam "12 Angry Men" (Sydney Lumet, 1957). Lewat film pemenang XXI Short Film Festival 2015 ini, kita diajak untuk merenungkan kembali makna sejati keluarga.

Film terakhir adalah Prenjak (In The Year Of The Monkey). Sebuah sajian penutup yang besar, mengingat film Prenjak ini telah memenangkan kompetisi di Semaine de la Critique (Pekan Kritikus) dalam Festival Film Cannes 2016 belum lama ini. "Prenjak" mengisahkan seorang wanita pekerja di sebuah rumah makan, yang sedang sangat membutuhkan tambahan uang. Ia pun menjual korek api pada rekan sekerjanya yang laki-laki, dengan harga sangat mahal per batang korek apinya. Ternyata dengan sebatang korek api yang mahal itu, si pria diperbolehkan melihat kelamin si wanita selama api koreknya masih menyala. Meskipun mengandung nudity (ketelanjangan) serta unsur voyeurisme, "Prenjak" bukanlah film tentang nafsu dan seksualitas yang dangkal. Meski kisahnya sederhana, "Prenjak" mampu bercerita lebih kuat daripada film-film sebelumnya. Dan tentu saja ada hikmah baik yang bisa kita baik dari film ini. Salah satunya yang bisa saya petik adalah ketulusan perjuangan seorang ibu demi menghidupi anaknya. Sebuah kesederhanaan dengan kisah yang kuat dan menggugah, pantaslah "Prenjak" ini mendapatkan pengakuannya di tingkat dunia.

Seusai pemutaran, diadakan sesi tanya jawab dengan Wregas Bhanuteja sendiri via telepon. Penonton sangat antusias untuk bertanya. Cukup banyak pertanyaan yang diajukan, misalnya filosofi di balik judul Prenjak, apa saran Wregas untuk para filmmaker indie, apa proyek film yang sedang digarap Wregas dkk. sekarang, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang sayangnya tidak bisa saya ingat sepenuhnya. Untuk filosofi judul film Prenjak, nama prenjak sendiri adalah sejenis burung yang tidak mau bersiul jika tak ada pasangannya, dan Wregas juga menambahkan bahwa praktik "wanita penjual korek api" itu nyata adanya di Yogya sekitar tahun 1990-an. Sebagai saran untuk para filmmaker indie, Wregas berkata, "Turuti kata hatimu dan jangan bohongi dirimu sendiri." Kata-katanya menegaskan bahwa para filmmaker seyogyanya berkreasi dari kecintaannya akan film dan dorongan hatinya, bukan karena tekanan, paksaan, atau hal lain. Untuk proyek film ke depannya, Wregas menyatakan bahwa dia ingin membuat film panjang. Ucapan selamat dari direktur IFI Surabaya kepada Wregas atas keberhasilannya di Festival Film Cannes menjadi penutup sesi tanya jawab ini, sekaligus penutup acara.

Mengulang kalimat Wregas, turutilah kata hati dan jangan bohongi dirimu sendiri dalam berkarya. Melihat sutradara muda sehebat Wregas Bhanuteja, saya yakin akan banyak bermunculan bakat-bakat baru yang akan mengubah wajah dunia perfilman Indonesia ke depannya.

Maju terus perfilman Indonesia!

Minggu, 17 Juli 2016

Reportase Indie: Movie Night 'Special' 2016 Surabaya




Sabtu lalu (16 Juli 2016), saya berkesempatan hadir di acara pemutaran film indie bertajuk Movie Night Special yang bertempat di Brum Stove & Pan Cafe, Jl. Ilmu Pasti Alam F-12, Perumdos ITS, Surabaya. Acara berlangsung mulai pukul 19.30 hingga sekitar pukul 22.30. Selama tiga jam, diputar 9 film pendek hasil karya komunitas-komunitas film di Surabaya maupun luar Surabaya. Idealnya, acara pemutaran dibagi menjadi 2 sesi di mana sesi pertama adalah untuk film-film dari Surabaya dan sesi kedua untuk film-film tamu dari komunitas luar Surabaya, dengan diskusi singkat di akhir tiap sesi. Namun dikarenakan kendala teknis, urutan film yang ditayangkan dan pembagian sesinya tidak bisa berjalan sesuai rencana awal. Meski demikian, hal itu tidak begitu mengganggu jalannya pemutaran maupun apresiasi dan diskusi atas film-film pendek yang diputar.

Film pembuka acara pemutaran ini adalah 'Lebaran: Berkah Silaturahmi' produksi Pooreque Squad dari UKM Sinematografi Unair. Sebuah film pendek bertemakan silaturahmi menjelang lebaran yang berakhir dengan absurd. Seorang laki-laki mengunjungi temannya untuk bersilaturahmi dan bermaafan. Ketika temannya tersebut mengetahui bahwa dia tidak punya banyak uang, ia membantunya dengan menggandakan uangnya memakai program komputer. Memang ide ceritanya aneh dan eksperimental, tapi yang penting pesannya tersampaikan: bahwa dengan ber-silaturahmi dan saling berbuat kebaikan akan dapat mendatangkan berkah. 



Kemudian dilanjutkan oleh 'Layang Melayang' produksi Kinne Komunikasi UPN. Bercerita tentang sekawanan anak-anak yang bermain layang-layang. Ketika salah satu layangan mereka putus, mereka lari mengejarnya dan meninggalkan layangan yang masih utuh. Layangan yang masih utuh itu pun akhirnya diambil orang. Film ini adalah film tugas yang dibuat berdasarkan observasi sutradaranya atas anak-anak ketika bermain layang-layang. Tapi demi memenuhi tenggat pengumpulan, beberapa adegan terpaksa dikorbankan (tidak sempat diproduksi), sehingga dalam film ini terdapat lompatan adegan yang cukup mengganggu kesinambungan ceritanya.

Yang ketiga adalah 'Si Pencari Tuhan' karya STD Production. Bercerita tentang seorang penulis buku yang sedang menuliskan kisah masa lalunya semasa SMA. Kehidupan anak SMA dengan segala warnanya ditampilkan dalam kilas balik, mulai dari masa orientasi siswa, pelajaran di kelas (yang membosankan), indahnya berpacaran, dan lain-lain. Sang penulis tidak menyukai kehidupan sekolahnya sehingga ia memilih lari, bermusik dalam band, dan melanggar aturan-aturan lainnya. Sampai suatu ketika dia merasa hidupnya kosong dan sepi. Hal ini diperparah dengan ketidakhadiran kedua orangtuanya yang sedang menuntut ilmu di Mesir. Di sinilah terjadi titik balik di mana sang penulis mulai mencari Tuhan dan menjadi orang yang lebih spiritual. Memadukan flash back dengan flash forward, permainan efek kamera dalam film ini sangat patut diacungi jempol.


Kemudian ada sesi diskusi untuk ketiga film tadi. Diskusi berlangsung cukup interaktif. Beberapa penonton mengajukan pertanyaan pada perwakilan tim produksi ketiga film itu, dan terjawab dengan cukup memuaskan. Setelah diskusi selesai, dilanjutkan dengan pemutaran film tamu. 

'Gasing Gersang' karya Ruang Gerak AV klub Ikom UMM menjadi film tamu pertama sekaligus film keempat yang diputar. Sebuah dokumenter sederhana tentang seorang penjual mainan tradisional di alun-alun kota Batu. Meski pekerjaan utamanya adalah bertani, ia tetap menyempatkan diri untuk berjualan mainan tradisional untuk tambahan penghasilan demi pendidikan anak-anaknya. Menjadi miris ketika kita melihat bahwa sekarang anak-anak lebih senang bermain gawai/gadget ketimbang permainan tradisional. Meski dibuat sebagai tugas dalam periode yang sangat singkat--hanya setengah hari, 'Gasing Gersang' cukup mampu membawa penonton mengamati sekaligus merasakan secuil kisah hidup penjual mainan tradisional yang berusaha tetap bertahan meski tergerus arus modernitas.


Dilanjutkan dengan 'Yang Terdalam' produksi Kamisinema ISI Yogyakarta. Mengangkat topik yang cukup berani, yaitu romansa antara seorang pria dengan seorang waria, film pendek ini otomatis menjadi film yang paling menyita perhatian penonton di acara pemutaran ini. Berkisah tentang Laura, seorang waria yang berusaha merawat kekasihnya yang sedang sakit keras. Segala upaya dilakukan demi kesembuhan sang kekasih, sampai Laura sendiri terpaksa terlibat bisnis narkotika. Secara teknis visual bisa dibilang film ini tidak semeriah film lainnya, tapi kemampuannya menyampaikan cerita dalam adegan sangatlah luar biasa.


Kemudian ada film pendek berjudul 'Laut Dan Makhluknya Yang Menenggelamkan' karya LFM ITB. Mengisahkan sepasang muda-mudi yang sedang bersantai di pantai. Tiba-tiba seorang perempuan asing muncul dan mengajak si pemuda ngobrol tentang keindahan pantai. Tak dinyana, si perempuan asing langsung mengajak si pemuda ke tengah laut dan tak kembali lagi. Si gadis yang kini sendirian, tiba-tiba didatangi sosok pemuda gagah yang datang dari tengah laut. Film ini merupakan satu interpretasi fenomena mistik yang digarap dengan gaya realistis, dengan hasil akhir yang sangat menarik.


Film selanjutnya adalah 'Angan' yang juga karya LFM ITB. Sebuah film pendek sederhana berisikan dua orang saja, dengan cerita yang tak kalah sederhana: seorang cowok berusaha menghibur ceweknya yang cemberut. Dengan adanya film 'Angan' di tengah-tengah film indie dengan ide yang unik dan seringkali kompleks, seolah menyiratkan bahwa kesederhanaan pun bisa menjadi kekuatan.


Setelah itu dilanjutkan sesi diskusi lagi, yang berjalan sama aktifnya seperti sesi diskusi sebelumnya. 

Kemudian dilanjutkan pemutaran film pendek berjudul 'Ir. Soemarno' dari JCM Kine Klub UIN Sunan Kalijaga Jogja. Sebuah film pendek bertema nasionalisme dengan sedikit sentilan satiris, momen diputarnya film ini cukup pas sebagai renungan menyambut Hari Kemerdekaan bulan depan. Bercerita tentang Soemarno, yang ditunjuk oleh lurahnya untuk membacakan teks Proklamasi pada malam tirakatan kemerdekaan. Meski secara penampilan sudah mirip Bung Karno, Soemarno masih merasa belum cukup pantas untuk membacakan teks bersejarah itu. Si lurah tetap bersikeras, dan berkata bahwa acara tirakatan itu sudah 'dibiayai negara'. Setelah twist unik yang mengaburkan batas antara dunia mimpi dan realitas, acara malam tirakatan itu pun dimulailah. Soemarno dengan tegap dan lantang, alih-alih membacakan teks proklamasi, ia membacakan anggaran dana acara malam tirakatan yang sudah penuh dengan mark-up hingga semua hadirin mendengar. Sebuah film yang sangat apik, dengan kualitas akting yang sangat jauh melebihi film-film lain yang diputar di acara ini.

Dan sebagai penutup, diputarlah film pendek 'Di Bioskop' produksi kolaborasi antara GSM Production dan Click ITS. Sebuah film pendek komedi yang bercerita tentang seorang pemuda yang sedang nongkrong di angkringan bersama temannya. Si pemuda menceritakan pengalaman-pengalaman konyolnya saat menonton bioskop bersama pacarnya. Salah satunya adalah ketika mereka menonton film 'Surga Yang Tak Dirindukan' (Kuntz Agus, 2015). Penonton mengantri di depan pintu studio, sampai seorang perempuan gemuk berlari menerobos antrian dan bertanya pada si penjaga studio, "Mas, surganya sudah penuh?" (Spontan, si penjaga studio pun menjelma malaikat penjaga surga). Itu hanya satu dari banyak cerita lucu yang disampaikan film ini. 'Di Bioskop' dibuat berdasarkan pengalaman pribadi sutradaranya, dan dengan teknik visualisasi yang apik plus dialek dan guyonan suroboyoan, film ini sukses mengundang tawa semua penonton yang hadir.


Setelah sesi diskusi bersama perwakilan tim produksi 'Di Bioskop' dan 'Ir. Soemarno', acara pemutaran ini pun resmi berakhir. Melihat betapa apiknya karya-karya para filmmaker muda ini--dan keberanian mereka dalam berkarya sangat luar biasa, saya yakin ke depannya perfilman Indonesia akan jauh lebih menarik dibandingkan saat ini.
Maju terus perfilman Indonesia! 

Minggu, 15 Mei 2016

Resensi Memories of Murder - Kisah Pembunuhan Berantai Pertama di Korea


(tulisan yang tercecer dari bulan Juni 2015)


Judul Asli: Sarinui Chueok
Sutradara: Bong Jon-hoo
Produser: Cha Seung-jae
Ide Cerita: Kim Kwang-rim (adaptasi buku Memories of Murder)
Penulis Skenario: Bong Jon-hoo, Shim Sung-bo
Komposer Musik: Taro Iwashiro
Sinematografi: Kim Hyung-koo
Penyunting Film: Kim Sun-min
Studio Produksi: CJ Entertainment Sidus Pictures
Distributor: CJ Entertainment
Pemain: Song Kang-ho, Kim Sang-kyung, dkk.

Menarik, karena film arahan sutradara Bong Jon-hoo ini adalah satu di antara dua film Korea yang muncul di daftar 250 besar IMDb per Juni 2015 (satunya lagi adalah 'Oldboy'). Sehingga waktu saya tak sengaja menemukan filmnya di sebuah rental DVD orisinal, spontan langsung saya pinjam.

Film ini menarasikan kisah nyata pembunuhan berantai pertama yang tercatat dalam sejarah Korsel, yaitu kasus pembunuhan Hwanseong yang terjadi dalam kurun waktu tahun 1986-1991--yang, sayangnya, tidak terpecahkan hingga sekarang. Semua korbannya wanita, diperkosa sebelum dibunuh, juga disumpal dan diikat dengan pakaian dalamnya sendiri. Kasus ini ditangani oleh detektif lokal Park Doo-Man (Song Kang-Ho) bersama rekannya yang lebih suka pakai otot daripada otak. Tidak ada bukti? Palsukan saja. Tersangka tidak mau mengaku? Pukuli saja sampai mau mengaku. Jelas saja kasus ini tidak mengalami kemajuan meskipun korbannya sudah dua orang. Kemudian datanglah seorang detektif dari Seoul, Seo Tae-Yoon (Kim Sang-Kyung) yang secara sukarela ingin membantu investigasi. Berbeda dengan Park, Seo lebih mengandalkan logikanya, sehingga tim investigasi berhasil menemukan korban ketiga yang belum ditemukan sebelumnya. Namun dari situ kasus menjadi buntu. Tidak ada saksi mata, sedikit sekali bukti. Cara kerja detektif Park dan detektif Seo yang bertolak belakang juga jadi pemicu konflik tersendiri. Investigasi sulit menemukan titik terang, sementara jumlah korban terus bertambah.


Seperti film 'Titanic', meskipun penonton sudah (diberi)tahu ending-nya dari awal film, film ini tetap mampu mempresentasikan cerita yang layak ditonton. Film ini juga menampilkan berbagai macam emosi, mulai dari kekonyolan sentilan-sentilan komedi gelap dalam beberapa adegannya, hingga rasa frustrasi ketika para detektif gagal mendapatkan bukti otentik untuk menjerat tersangka utama. Tidak seperti cerita Detektif Conan di mana kasus kriminal bisa dipecahkan dalam sekejap, di sini penyelidikan kasus adalah proses yang panjang dan melelahkan. Saya merasakan hal yang mirip seperti ketika menonton 'Zodiac' (David Fincher, 2007) yang dibintangi Jake Gyllenhaal, Robert Downey Jr., dan Mark Ruffalo, yang juga mengambil tema kasus pembunuhan berantai yang tak terpecahkan. Namun, saya rasa 'Memories of Murder' memiliki kelebihan tersendiri, yaitu pesan kuat yang tersampaikan dengan baik--setidaknya menurut saya. Dari film ini saya belajar bahwa tidak semua pertanyaan dalam hidup ini bisa terjawab, dan kadangkala (atau seringkali) kebenaran tidak dapat diraih. Mampukah kita bertahan dalam hidup yang seperti itu? Hanya kita yang bisa menjawabnya.

Saya bersyukur sekali bisa menyaksikan film Asia sehebat ini.

Skor: 8,2/10